Minggu, 22 Maret 2015

Lumpuhkanlah Ingatanku Tuhan (Part 2)


Suatu hari, Via berkunjung ke rumah sakit untuk mengunjungi anak tabrak lari yang ia tolong. Ia ke sana tidak sendirian, Via datang bersama Rangga dengan keceriaan terpancar dari aroma wajah mereka. Rasa senang menambah di dalam hati Via melihat anak itu sudah bisa berdiri dan bermain bersama suster di rumah sakit tersebut. Via pun terketuk hatinya untuk bergabung dalam permainan anak-anak di taman itu. Kebahagiaan dan kesenangan terpancar pada wajah Via. Rangga juga bergabung, ia menyanyikan sebuah lagu diiringi musik gitar.
“kurasakanku jatuh cinta saat pertama berjumpa, senyumanmu yang selalu indahkan hariku. kau ciptaan yang terindah yang menghayutkan hatiku, semua telah terjadi membuatku tak berhenti memikirkanmu, ku harap engkau tahu. Kau yang kuinginkan meski tak ku ungkapkan, kau yang selalu kubayangkan, dan kau yang kuimpikan. I’m falling in love with you… aku jatuh cinta… aku jatuh cinta padamu.”
Sejenak Rangga menghentikan suara merdunya, ia mengeluarkan sekuntum bunga yang ia tujukan untuk Via. Via sangat terkejut dengan laku Rangga padanya, apalagi Rangga tiba-tiba berlutut di hadapannya.
“aku jatuh cinta padamu Via, maukah kamu menjadi pacarku?” ungakap hati tulus Rangga pada Via.
Via masih bingung apa yang harus ia katakan, ia melihat sekelilingnya yang terus berteriak untuknya menerima Rangga. Anak-anak dan suster mendukung Via menerima Rangga sebagai pacarnya. Hati Via tergugah untuk mengambil bunga yang ada di tangan Rangga.
“ya… aku menerimamu.” Jawab Via dengan tegasnya.

Kebahagiaan dalam diri Rangga membuatnya tak bisa kendalikan diri, ia memeluk erat Via yang kini menjadi pacarnya. Seribu rasa terima kasih Rangga ucapkan pada Via. Semua yang ada di taman itu bersorak untuk kebahagiaan Rangga dan Via.

Tanggal 1 Januari 2014 adalah tahun baru pertama Via bersama Rangga. Sudah setahun mereka menjalin hubungan. Di tahun pertama ini, Via ingin memberikan sesuatu yang indah untuk Rangga. Mulai sejak pagi pukul 04.00, Via sudah bangun lebih dulu untuk memasak di dapur. Stevani yang tampak terganggu dengan suara berisik dari arah dapur, ia bangun dari tempat tidurnya dan menyaksikan adiknya sibuk di dapur. Stevani heran dengan laku Via yang jarang sekali bangun sepagi itu hanya untuk menyiapkan makanan, Stevani mendekat ke dapur.
“apa ini tahun yang bahagia untukmu?” seru Stevani sekejab membuat Via terkejut.
“tentu kak, tahun pertama dan pengalaman pertama aku merasakan hal seperti ini. apalagi hari ini Rangga akan mengajakku bertemu orangtuanya.” Kata Via yang tampak bahagia.
“kalau kamu bahagia dengannya, bahagiakan ibu juga dengan mengenalkannya pada ibu. Berziarahlah ke makam ibu bersama Ranga.” Ujar Stevani
“baiklah kak.” Sahut Via.

Pagi yang sejuk, Via mulai berangkat menuju rumah sakit dimana Rangga menjalani praktek. Tiba di rumah sakit, Via mencari-cari keberadaan Rangga di sepanjang rumah sakit namun ia tak menemukannya. Via memutuskan untuk menunggunya di lobi rumah sakit. Setelah lama menunggu, Via mendengar dari kejauhan suara Rangga dan ia melihat sosok Rangga berjalan menuju lobi, tapi ia tak sendirian ia bersama seorang wanita. Terlihat mereka sangat akrab dan saling canda tawa satu sama lain, hal itu membuat muncul perasaan curiga dalam diri Via namun ia tetap positif thingking pada Rangga. Melihat keduanya sudah saling berpisah, Via segera mungkin menghampiri diri Rangga dan itu membuat Rangga gugup sekejap.
“Vi…Viii…a, sedang apa kamu disini?” tanya Rangga yang tampak gugup.
“kamu tega sekali masih di rumah sakit, kamu lupa ini tahun pertama kita.” Sahut Via sambil menunjukkan tas yang berisi makanan untuk Rangga.
Rangga meminta maaf pada Via dengan pelukan. Mereka berdua meluangkan waktu di taman rumah sakit untuk menikmati masakan yang dibawakan Via. Rangga sangat menikmati makanan Via, di setiap waktu ia selalu memuji makanan Via dengan senyuman dan kata-kata manisnya. Selesai memakan semuanya, sejenak mereka saling berbincang-bincang, sambil menggenggam tangan Via, Rangga mengucapkan hal yang indah pada Via.
“Via, aku berharap di tahun pertama ini, genggaman ini takkan terlepas dariku, baik itu dariku, maupun darimu. Aku tidak akan pernah melepas genggaman ini sampai kapanpun.” Ujar Rangga dengan serius menatap mata Via.
“aku juga.” Sahut Via dengan tegas
Rangga mencium kening Via dengan perasaan cintanya untuk Via. Kebahagiaan mulai tercurahkan dalam hati Via saat itu. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya untuk memiliki seorang laki-laki sebaik Rangga dalam kehidupannya. Satu hal lagi yang membuat diri Via tak puas-puasnya mengucapkan rasa syukur, siang itu Rangga mengajaknya untuk makan siang bersama dengan orangtuanya. Selama perjalanan, Rangga terus saja menggenggam tangan Via dengan erat tanpa sedikitpun melepas genggamannya.

Tiba di depan rumah Rangga, tampak Via sangat gelisah dan tubuhnya seakan gemetar keringat dingin. Perlahan Rangga menggandeng Via masuk ke rumahnya, di dalam keluarlah seorang wanita paruh baya yang tidak lain adalah ibu Rangga menyambut kedatangan Rangga dan Via. Ibu Rangga mempersilahkan Via untuk duduk sejenak berbincang-bincang bersamanya. Tak lama terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.
“pasti itu ayah.” ujar Rangga yang tampak sangat bahagia.
Rangga mengajak Via untuk menyambut ayahnya di depan. Tak lama mereka berjalan, tiba-tiba saja langkah Via terhenti, Via merasa perasaan aneh yang ia rasakan tidak seperti biasanya. Saat ayah Rangga masuk ke dalam rumah, mata Via terbelalak terkejut melihat seorang yang ia kenal berada di depan matanya. Ayah Rangga juga sangat terkejut melihat sosok wajah yang berada di depan matanya sekarang ini.
“Via…!” Ujar ayah Rangga
Seketika sekujur tubuh Via gemetaran, tangannya mengepal keras seperti menyembunyikan kata-kata di hatinya. Mulut yang komat-kamit ingin mengungkapkan suatu hal, itu yang bisa Via lakukan.
“ayah…” ucapan yang tak sengaja keluar lantang dari mulut Via. Sejenak melihat wajah itu mengingatkan kembali ingatan masa lalu Via bersama laki-laki paruh baya itu. Penyiksaan dan caci maki yang selalu laki-laki itu berikan dalam masa lalu Via, dia adalah ayah kandung Via, ayah yang terus menjadi ingatan buruk untuk Via.
Ucapan yang keluar dengan lantang dari mulut Via, sekejab membuat Rangga dan ibunya sontak terkejut. Tubuh Via semakin lama terasa lemas tak bertenaga, serta kepala Via yang juga menjadi pusing, dan perlahan-lahan Via tak kuasa menahan berat tubuhnya membuatnya jatuh tak sadarkan diri. Refleks Rangga segera mengangkat tubuh Via dan membawanya ke rumah sakit. Hari itu menjadi hari yang menegangkan untuk semuanya.

Mendengar Via masuk rumah sakit, sontak Stevani berlarian ke rumah sakit untuk segera tahu kondisi adiknya. Di UGD Stevani menghentikan larinya, begitu terkejutnya di sana ia melihat sosok bersama Rangga yang sangat ia kenal wajahnya. Mata Stevani melihat tajam wajah sosok itu dan ia dekati.
“sedang apa anda ada di sini?” seru Stevani dengan nada yang menandakan ketidak sukaannya.
“maaf kak, dia ayahku.” Jelas Rangga untuk meredakan suasana hati Stevani.
“ayah? dia ayahmu? Bagaimana bisa dia menjadi ayahmu?” sahut Stevani merasa tak mengerti maksud perkataan Rangga.
Tak sampai mengeluarkan sepatah kata pun, dokter keluar dari ruang UGD yang mengalihkan perhatian Stevani.
“dokter, bagaimana?” tanya Stevani menampakkan kekhawatirannya.
“Via mengalami trauma otak yang sangat berat. Kenormalan otaknya belum sembuh benar setelah kecelakaan yang lalu.” Jelas Dokter
“lalu bagaimana Via sekarang?” tanya Rangga yang juga khawatir dengan keadaan kekasihnya.
“untuk sementara biarkan dia istirahat untuk merefleksikan kondisi otaknya. Untuk sementara dia tetap di ruang ICU.” Sahut dokter.
“apa dia akan sembuh dokter?” tanya Stevani
“tergantung keinginan Via untuk bertahan.” Jawab sang dokter.
Tubuh Stevani seakan lemas mendengar kondisi adiknya. Penyesalan datang dalam diri Stevani saat melihat adiknya terkapar tak berdaya di ruang ICU, air matanya mengalir seketika.

“Rangga, sebaiknya kamu bawa pulang ayahmu!” pinta Stevani pada Rangga.
“tak bisakah aku tetap ada disini?” ucap ayah Rangga
“untuk apa anda disini? anda ingin melihat Via mati setelah melihat anda.” Emosi Stevani yang perlahan memuncak.
“dia putriku Stevani! Sebagai seorang ayah aku ingin berada di sisinya.” Sahut ayah Rangga.
“anda pikir anda seorang ayah untuk Via, dimana anda selama ini? anda tidak ingat bagaimana perlakuan anda terhadap ibuku dan Via? Apakah anda bisa di sebut sebagai ayah yang pantas untuk Via?” jelas Stevani yang tak bisa lagi menyembunyikan amarahnya.
“tahu apa kamu tentang perlakuanku dulu padanya?” emosi ayah Rangga yang mulai memuncak.
“stop, tolong jangan bertengkar di rumah sakit!” teriak Rangga menghentikan pertengkaran Stevani dan ayahnya.
“tolong Rangga, bawa ayahmu keluar dari rumah sakit ini!” pinta Stevani.
Rangga menarik tangan ayahnya menyingkir dari ruang ICU. Hal itu membuat ayahnya kesal dan menampar Rangga, Rangga hanya diam tak marah ataupun membalas perlakuan ayahnya. Dalam hatinya merenung ini bukan saatnya untuk saling beradu mulut, dalam pikirannya masih terbayang kondisi Via. Rangga membawa pergi ayahnya meninggalkan rumah sakit, karena ia tahu itu akan membuat permasalahan baru untuk keluarga Via dan itu yang tidak ia inginkan.

Masa kritis telah dilewati oleh Via, hari ini Via sudah dipindahkan ke ruang rawat dan ia sudah sadarkan diri. Stevani tetap berada di samping Via, namun tidak untuk Rangga, ia hanya bisa melihat wajah Via dari kejauhan agar tak terlihat oleh mata Via.
“Via, melihat sadar seperti ini membuat hatiku tentram dan damai. Kekhawatiranku terobati karena kesembuhanmu Via.” Ujar hati Rangga dengan mata berkaca-kaca.
Rangga menyingkir dari tempat itu saat ia tahu Via tak sengaja melihatnya. Rangga perlahan berjalan meninggalkan ruangan Via.
“Ranggaaaa!!!” teriak Via memanggil Rangga.
Langkah Rangga terhenti dengan suara itu, perlahan ia membalikkan tubuh, ia melihat sosok kekasih yang ia rindukan duduk di kursi roda menatap padanya. Dengan menjalankan kursi rodanya, Via mendekat pada Rangga.
“kenapa kamu keluar? Kembali dan istirahatlah!” nasehat Rangga dengan lembut dan penuh perhatian.
“aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” Sahut Via sambil menggenggam tangan Rangga. Rangga membalas genggaman erat pada tangan Via.
“genggaman ini, kamu pernah mengatakan kalau kamu tak akan pernah melepasnya, tapi mungkin aku yang harus melepaskannya.” Jujur Via dengan mata yang berkaca-kaca.
“maksud kamu?” tanya Rangga yang bingung maksud perkataan Via.
“sudah cukup, kita akhiri semuanya. Jalani hidup masing-masing saja.” Tegas Via.
“Via?” kejut Rangga.
“ini yang terbaik untuk kita.” Ujar Via yang perlahan melepaskan tangannya dari genggaman tangan Rangga.
Dengan berat hati, Via mengatakan sesuatu yang akan menyakiti hatinya sendiri. Rangga terdiam sejenak, Via tak kuasa melihat wajah Rangga ia membalikkan kursi rodanya meninggalkan diri Rangga.
“kamu akan menyesal Via. perlu kamu tahu itu keputusan sepihak, memang kamu melepaskan ikatan tangan ini, tapi aku tidak akan pernah bernat untuk melepasnya.” Seru Rangga tak rela dengan keputusan Via.
“itu hakmu Rangga, tapi aku harus memutuskan. Kamu juga anak ayahku, kita saudara Rangga, mempertahankanmu sama halnya menyiksa diriku sendiri.” Seru hati Via yang meteskan air matanya saat itu. Via meneruskan jalannya tak memperdulikan ucapan yang terus terlontar dari mulut Rangga.

Mata Via terus memandangi sampul buku harian miliknya. Sejenak renungan itu buyar, keputusan yang ia ambil adalah hal terbaik. Diambilnya korek api di meja, dibakarnya buku harian itu tanpa tersisa secuil pun. Hari itu tanggal 3 Januari 2014, tanggal dimana Via siap menghapus segalanya dari dirinya, meskipun berat ia berusaha keras untuk tak meneteskan air matanya setitik pun.

“Tuhan, maafkan aku, aku harus menyerah dengan cobamu. Melupakan segalanya itu jalan terbaik yang bisa ku tempuh saat ini. Ini terakhir kalinya aku meminta pada-Mu, kumohon Tuhan lumpukanlah ingatan ini, aku lelah Tuhan… aku lelah, baik ingatanku yang pahit tentang ayahku, kesalahanku pada ibuku, dan yang terakhir hilangkan rasa serta ingatanku pada orang yang kucintai saat ini “Rangga”. Aku ikhlas Tuhan.”

… Selesai …

Cerpen Karangan: Nadia Hayu Prasasti
Facebook: Nadya Zasky

0 komentar:

Posting Komentar