Minggu, 22 Maret 2015

Lumpuhkanlah Ingatanku Tuhan (Part 1)


Perasaan terkadang tak pernah bisa dibohongi. Apalagi perasaan sakit dan terluka karena seseorang. Butuh waktu yang sangat lama untuk bisa menyembuhkan luka itu, mungkin dengan melupakan ingatan yang membuat sakit untuk diingat kembali. Seperti yang dialami oleh Via.



Via menutup buku hariannya, dan beranjak dari tempatnya sekarang untuk segera membuang buku harian itu. Sejenak Via termenung dan duduk kembali, ia merenung dan teringat kembali masa lalu yang ingin dilupakannya.
Ingatan Via mengarah pada suatu kejadian yang menimpa dirinya bersama ibunya. Kecelakaan 1 tahun yang lalu, tepat pukul 13.00 tanggal 1 januari 2013. Kejadian itu sangat tragis, semuanya tak ada sisa. Saat itu, Via terluka parah ia tak mampu berdiri, sedangkan ibunya berada sangat jauh darinya yang juga terluka parah tak sadarkan diri. Via yang masih bisa sadarkan diri berusaha mendekat ke arah ibunya untuk menjangkau tangan ibunya. Namun naas Via terlambat, tiba-tiba di depan mata Via mobil yang ditumpanginya meledak bersamaan dengan ibunya yang masih di dalam.
“ibuuuuu!!!” teriak Via dengan histerisnya. Via sangat syok saat itu hingga membuatnya tak sadarkan diri. ia tak ingat apapun lagi.

Perlahan mata Via mulai terbuka, ia bangun dari tempat tidurnya. Keadaan aneh menimpanya, sekelilingnya terlihat gelap gulita tak bisa melihat apa-apa.
“suster, kenapa lampunya mati?” tanya Via dengan sikap yang kebingungan.
“maaf, saya tidak mematikan lampunya.” Sahut tegas sang suster.
“kenapa semuanya gelap, aku tak bisa melihat apa-apa?” ujar Via sang semakin bingung dengan keadaannya. “ada apa dengan keadaanku suster? Kenapa aku tak bisa melihat apapun? Jawab aku suster.” Histeris Via yang semakin tak terkendali.
“saya mohon tenanglah…!” suster berusaha menenangkan diri Via. Suster itu berteriak sekencangnya memanggil dokter.
Dokter yang tidak salah masih berada di luar ruang rawat Via, segera masuk ke dalam ruangan dan menenangkan diri Via.
“Via, kumohon tenanglah! Kamu masih belum sembuh benar.” Ujar sang dokter.
“dokter, jawab aku! Kenapa semuanya gelap? Aku tak bisa melihat apapun.” Ucap Via yang masih tak bisa mengendalikan dirinya.
“ini hanya sementara, untuk beberapa hari saja semuanya akan pulih.” Sahut tegas sang dokter.
Perlahan Via mulai tenang mendengar ucapan tegas sang dokter.
“apa itu benar?” ujar Via.
“benar, jadi tenanglah ini hanya efek dari ledakan itu, tapi tidak sepenuhnya melukai syaraf matamu.” Jelas Via.
“ledakan? Ledakan apa?” sahut Via yang tampak terkejut.
“kamu tidak ingat?” tanya dokter yang juga terkejut sekejab.
Via hanya menggelengkan kepalanya tak mengerti apa yang dibicarakan sang dokter. Tak sempat mengajukan pertanyaan lagi, terdengar suara pintu terbuka muncullah Stevani (kakak tiri Via).
“Via, bagaimana keadaanmu?” tanya Stevani yang terlihat dari wajah yang kurang ceria dan mata yang lebam seperti orang menangis.
“apa itu kak Stevani? “tanya balik Via mencari sosok kakaknya dengan pandangan yang perlahan terlihat meskipun masih kabur.
“ya ini aku, Via.” Sahut Stevani yang mendekat dan menggenggam tangan adiknya.
Via memeluk tubuh kakaknya dengan erat tak ingin melepasnya.
“kak, dimana ibu? Bagaimana keadaanya?” tanya Via.
“itu… itu…” sulit untuk Stevani mengeluarkan kata-kata dari mulutnya.
“kenapa diam? Ibu tidak apa-apakan?” tanya Via seakan mendesak Stevani untuk segera menjawabnya.
Stevani sejenak menatap dokter yang ada di sampingnya dan jawaban dokter itu hanya sekali anggukan.
“maaf bisakah aku bicara empat mata dengan adikku?” pinta Stevani pada suster dan dokter disana.

Di dalam ruangan itu hanya ada Via dan Stevani, suasana terasa sangat hening tanpa adanya suara yang terlontar.
“kak, kenapa hanya diam saja?” desak Via
“dengarkan kakak, berjanjilah bahwa kamu tidak akan menyalahkan dirimu dan tolong kendalikan emosimu! Kamu bisa?” pinta Stevani dengan menatap tajam mata Via.
“hmmm..” suara Via bersamaan dengan anggukan kepalanya.
Stevani menghela napas panjang untuk sejenak,” ibu… ibu… tidak selamat dalam kecelakaan itu…” Ucap Stevani yang merasa tidak ingin mengungkapnya.
Sekejap Via diam tanpa kata mendengar ucapan yang terlontar dari mulut kakaknya, matanya melotot tajam seakan tak percaya.
“tidak… itu tidak benar… kakak bohong… bohong!!!” teriak histeris Via.
“ini benar Via… ibu terbakar dalam ledakan mobil itu.” Ujar Stevani tak kuasa menahan batinnya yang juga terluka.
“tidak… kamu bohong, ibu masih hidup. Aku harus bertemu dengan ibu.” Via berusaha berdiri dari tempatnya.
“Viaaaa!!!” teriak keras Stevani
Via menatap mata Stevani, mata Stevani mengisyaratkan kebenaran ucapannya. Via jatuh ke lantai dengan kenyataan yang menyayat tubuhnya. Saat itu, Via menumpahkan seluruh air mata yang ia punya, menangisi kejadian yang menimpanya. Stevani langsung memeluk erat sang adik, menenangkan jiwa sang adik.
“maafkan aku kak. Aku yang salah, ini semua karenaku, maafkan aku kak. Maaf!” ujar Via dengan suara terpatah-patah.
“tidak sayang, ini kehendak Tuhan. kamu tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri. Ini kehendak Tuhan. Ok.” Hibur Stevani dengan lembut.

Suasana di ruangan itu penuh dengan tangis, penyesalan dan kasih sayang, membuat dokter dan suster yang mengintip di luar seakan tersentuh.
Beberapa hari Via harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit, hari ini ia dibolehkan untuk meninggalkan rumah sakit. Keadaan matanya yang awalnya gelap, kini ia bisa melihat dengan jelas dan normal. Bersama Stevani, Via membereskan barangnya untuk keluar dari ruang rawatnya. Sebelum itu, ia memberi salam terlebih dahulu pada dokter dan suster yang sedia merawatnya.
“aku berterima kasih padamu, dokter.” Ucap Via dengan senyuman.
“jaga kesehatanmu, jadilah seorang yang tangguh dan kuat.” Ujar sang dokter sambil memeluk pasiennya.
“aku akan menjadi sekuat besi untukmu dokter.” Semangat Via
“terima kasih dokter.” Ucap Stevani

Stevani dan Via berjalan keluar rumah sakit. Meskipun keadaan Via sudah baik, Stevani masih saja memanjakan adiknya, menuntun jalan Via, hal itu membuat semangat dan senang jiwa Via. Sejenak jalan Via dan Stevani berhenti di depan rumah sakit, Stevani lupa untuk menebus obat sang adik. Stevani menyuruh Via untuk menunggu sebentar. Tak lama setelah Stevani pergi, tiba-tiba ada seorang laki-laki tampak terburu-buru tak sengaja menabrak Via hingga jatuh.
“maafkan aku, aku terburu-buru.” Ucap sang laki-laki itu membantu Via berdiri.
“tak apa, kalau kamu memang terburu-buru, cepatlah!” sahut Via juga berusaha berdiri sendiri.
“tapi kamu baik-baik saja kan? Aku minta maaf, benar-benar minta maaf.” Ujar laki-laki.
“aku baik-baik saja, cepatlah! Urusanmu pasti penting.” Seru Via mengingatkan.
Laki-laki itu kemudian pergi, namun ia kembali lagi muncul di depan Via.
“namaku Rangga.” Ujar laki-laki itu dengan mengajak berjabatan tangan pada Via.
“Via, namaku Via.” Seru Via membalas jabatan itu.
“senang bertemu denganmu” ujar Rangga dengan senyuman.
Rangga kembali berjalan membelakangi Via, Via pun memandangi jalannya Rangga hingga tak terlihat lagi. Tak lama kemudian Stevani tiba menghampiri sang adik, Via tampak terkejut dengan kehadiran Stevani yang tiba-tiba dari arah yang berbeda.
“kenapa? Kamu memandangi siapa sih?” tanya Stevani yang bingung dengan sikap adiknya.
“enggak kak, hanya orang yang baru saja kukenal.” Jawab Via.

Stevani dan Via kembali berjalan ke arah mobil mereka. Sebelum mereka pulang, mereka ingin berziarah ke makam ibu mereka. Turun dari mobil, Via merasa canggung untuk mendekat ke arah makam ibunya, ia merasa tak pantas untuk menginjakkan kakinya di tanah makam ibunya. Stevani tahu perasaan Via, dengan lembut ia menuntun Via untuk tetap berjalan dan Via mematuhinya. Tepat di depan nisan ibunya, air mata Via berlinang dengan deras. Tubuh Via serasa lemas melihat nisan itu bertuliskan nama ibunya, tubuhnya juga gemetar, perlahan ia menekuk lututnya bersujud di depan makam ibunya. Stevani hanya diam menyaksikan adiknya disana.
“ibu, maaf, aku tidak bisa menyelamatkanmu saat itu. Maafkanlah anakmu ini. Mungkin jika saat itu aku menuruti saranmu, semuanya tidak akan seperti ini, maafkan aku ibu. Maaf.” Isak tangis Via sambil memberi penghormatan terakhir untuk ibunya.
“ibu, semoga dirimu tenang dan ikhlas. Kami putrimu akan selalu mendoakan ketenanganmu.” Sela Stevani menyanding Via sambil menaruh taburan bunga di sekujur makam ibunya.

Melihat keadaan Via mulai lemas, Stevani mengajak Via untuk bangkit dari sana dan mengajaknya pulang. Stevani terus menuntun jalan Via agar ia tidak jatuh, sampai tiba di mobil Via terus saja terdiam lemas dan segera Stevani masuk ke dalam mobil. Sesegera mungkin mobil itu di jalankan meninggalkan pemakaman itu.

Pagi yang cerah, Via yang sudah lama tak masuk kuliah hari ini ia mulai bersiap untuk memulai kegiatannya seperti biasa. Seperti biasanya Via berangkat ke kamus tidak menggunakan sepeda motor ataupun angkutan umum, ia menggunakan sepeda untuk sampai ke kampus. Dalam perjalanan menuju kampus, ada sebuah kejadian ramai tepatnya di lampu merah, ada seorang anak kecil terkapar tak berdaya di tengah jalan penuh dengan percikan darah. Semua orang yang ada di sekitar segera membantunya untuk dibawa ke rumah sakit. Via yang menyaksikan peristiwa itu, dadanya terasa sesak tak bisa bernapas. Ia mengingat kejadiannya bersama ibunya beberapa waktu lalu, namun sekuat raga dan jiwanya berusaha untuk tetap kuat meskipun sekujur tubuhnya gemetar. Via menaruh sepedanya menghampiri kerumunan orang dan melihat kondisi sang anak itu. Via mendekat pada anak itu dan mengecek denyut nadinya.
“kita harus segera membawa anak ini ke rumah sakit, kondisinya sangat kritis.” Seru Via yang tampak gelisah.
“naikkan dia ke mobilku.” Suara yang terdengar jauh dari tempat itu.
Semua memandang ke arah muncullah suara itu, suara itu adalah suara Rangga. Ia mendekati tubuh anak itu, refleks ia mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam mobilnya.
“kamu ikutlah!” pinta Rangga pada Via.
Via pun secepatnya masuk ke dalam mobil, ia sambil memangku anak itu. Rangga sesegera mungkin menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, bergegas Rangga dan Via turun membawa anak itu ke UGD, di depan UGD ada seorang suster yang secepat mungkin menangani anak itu. Kelegaan terasakan dalam diri Via dan Rangga.
“terima kasih kamu sudah menolongnya?” ucap Via
“sama-sama, sudah seharusnya aku melakukannya.” Ujar Rangga dengan tenang.

Via menunggu sambil duduk di ruang tungggu, sedangkan Rangga terus mengamati Via dari kejauhan, ia serasa pernah bertemu dengan Via sebelumnya. Rangga mendekat di tempat duduknya Via untuk memastikan rasa penasarannya.
“kamu wanita yang tidak sengaja ku tabrak di depan rumah sakit waktu itu kan?” tanya Rangga memastikan.
Via merasa terkejut dengan pertanyaan yang di ajukan Rangga, ia menatap tajam ke arah Rangga dan seakan ingatannya mulai mengingat wajah yang ada di depannya sekarang.
“ahh, kamu Rangga kan?” ujar Via
“benar, siapa dulu namamu? Aku lupa.” Sahut Rangga
“Via..” seru Via
Mereka berdua saling tertawa dengan pertemuan yang tak terduga. Selama satu jam lebih, mereka saling berbicara dan bercanda banyak di ruang tunggu sambil menunggu kabar dari ruang UGD. Tak lama dokter keluar dari UGD dan bertatap muka dengan Via dan Rangga. Dokter itu mengatakan bahwa anak itu tidak apa-apa dan akan dipindahkan ke ruang perawatan. Via yang membiayai biaya rumah sakit anak itu dan ia mengaku sebagai wali anak itu. Dengan sikap yang dilakukan Via, membuat Rangga terkagum-kagum pada Via. Menambah rasa kekagumannya, Rangga menyaksikan rasa iba dan sayang terdapat dalam diri Via saat Via membelai rambut anak itu dengan penuh ketulusan.
“kamu menyukainya?” tanya Rangga
“sepertinya begitu.” Ujar Via
“kamu memberikan ketulusan padanya seperti dia keluargamu sendiri.” Ucap Rangga memasang tampang kekaguman pada Via.
“aku anak bungsu, jadi saat melihat anak kecil seperti mereka adalah adikku sendiri.” Seru Via.

Saat itu perlahan Rangga mulai mengenal Via, sebaliknya dengan Via mulai mengenal sosok Rangga. Mereka berdua saling menceritakan pengalaman pribadi mereka satu persatu dan itu membuat mereka saling dekat satu sama lain. Sejak saat itu hubungan mereka mulai dekat, apalagi tak sengaja mereka kuliah di kampus yang sama namun beda fakultas. Rangga adalah mahasiswa kedokteran sedangkan Via adalah mahasiswa psikologi. Keduanya saling cocok satu sama lain.

Cerpen Karangan: Nadia Hayu Prasasti
Facebook: Nadya Zasky

0 komentar:

Posting Komentar